Membumikan Semangat Pattimura

Agung Setyahadi

Ratusan api obor menerangi lorong jalan Negeri Haria di Pulau
Saparua, Maluku. Ratusan prajurit berikat kepala merah, bersenjata
pedang panjang, dan membawa perisai pun perlahan-lahan muncul dari
kegelapan. Dengungan panjang tiupan kuli bia atau kulit kerang
menyelusup halus, disusul teriakan pasukan perang sambil berlari
menyerang.
Pedang panjang khas senjata tradisional Maluku yang digunakan
Kapitan Pattimura teracung ke langit malam yang cerah bertabur
bintang Senin malam itu. Pasukan dari Negeri Porto tersebut akhirnya
berhenti di depan baileo (rumah adat) Negeri Haria. Mereka disambut
para Latupati (raja) dari seluruh negeri di Pulau Saparua.
Sang kapitan meneriakkan yel-yel perjuangan, sebelum menyerahkan
Obor Pattimura kepada para Latupati. Obor itu diarak dari Negeri
Tuhaha, nun di Gunung Saniri di jantung Saparua. Api yang menjilat-
jilat tersebut menyimbolkan semangat perjuangan Kapitan Pattimura
mengusir penjajah. Semangat yang tak padam itu diperingati setiap
tanggal 15 Mei, awal meletusnya Perang Pattimura atau Perang Saparua.
Momen bersejarah, yang biasa disebut Hari Pattimura, tersebut
kali ini merupakan yang ke-190. Semangat perjuangan Pattimura itu
diturunkan ke bumi Maluku dengan tujuan memperkuat rekonsiliasi
masyarakat Maluku pascakonflik sosial.
"Dalam masa damai ini semangat perjuangan Pattimura harus
dimaknai untuk menguatkan rekonsiliasi antarmasyarakat. Semangat
perjuangan Pattimura bukan lagi untuk berperang, tetapi untuk
membangun Maluku menjadi lebih baik. Semangat membangun inilah yang
harus dilestarikan untuk anak-cucu, terutama pascakonflik ini," ujar
Albert Tanalepy, raja ke-11 Negeri Tuhaha.
Membumikan semangat Pattimura itu dinilai demikian penting
mengingat masyarakat Ambon dalam beberapa bulan terakhir ini
diprovokasi oleh peledakan bom dan granat. Masyarakat, lanjut
Tanalepy, diharapkan bisa menunjukkan kejernihan berpikir. "Tetap
tenang dan mempertahankan keamanan. Ketahanan internal masyarakat dan
antarkomunitas inilah yang harus dipertahankan dan diperkuat melalui
semangat Pattimura," katanya lagi.

Api untuk obor
Pesan-pesan persatuan itu muncul dalam prosesi Hari Pattimura
yang dilaksanakan mulai Senin siang hingga puncaknya Selasa (15/5)
fajar.
Prosesi adat dimulai dari Negeri Tuhaha (benusa amalatu) di
Gunung Saniri, tempat Pattimura menyusun strategi penyerangan hingga
merebut Benteng Duurstede (pada tahun 1817). Di desa itu pula diambil
api untuk Obor Pattimura, simbol semangat perjuangan sang kapitan.
Api unar dibuat para tetua adat dengan cara menggunakan buluh
sero yang digesek-gesekkan. Panas hasil gesekan bambu itu membakar
parung, bubuk halus seperti kapas yang menempel di dahan pohon enau.
Api unar ini dinilai sangat sakral. Karena itu, api tersebut tidak
boleh mati selama perjalanan dari Tuhaha, Waisisil, Porto, Haria,
hingga menyeberang ke Pulau Ambon.
Sebelum obor dibawa ke Ambon, para raja berkumpul di Haria untuk
bersulang. Prosesi ini merupakan simbol persatuan setiap negeri untuk
bahu-membahu membangun Maluku menjadi lebih baik. Persatuan yang
tulus tanpa mempersoalkan perbedaan karena itulah warna-warni
kehidupan.
Semangat seperti itu ditunjukkan Pattimura saat ia merangkul
seluruh masyarakat dari berbagai komunitas di Saparua dan Nusa Laut
untuk melawan penjajah.
Pertempuran di Waisisil dapat dimenangi dan menyisakan segelintir
pasukan penjajah yangkabur. Benteng Duurstede pun direbut, sementara
residen Belanda Johannes Rudolp van den Berg tewas. Anak laki-
lakinya, Jean Lubert van den Berg, yang saat itu berumur lima tahun,
diselamatkan oleh Pattimura dan diserahkan kembali kepada pihak
Belanda.
Di baileo itu juga dibacakan 17 pasal keberatan rakyat yang
berisi protes atas pemaksaan kehendak penjajah Belanda.

Jaga persatuan
Hari itu obor kemudian dibawa ke Pelabuhan Tulehu di Pulau Ambon
dengan menggunakan kapal kayu. Dari Tulehu, obor diarak secara
estafet hingga ke Kota Ambon. Arak-arakan yang diikuti ribuan warga
ini melewati negeri-negeri di Ambon. Sebuah perjalanan untuk
mengingatkan masyarakat akan semangat Pattimura.
"Obor dibawa melewati beberapa negeri supaya semangat perjuangan
Pattimura tetap dipertahankan. Masyarakat juga diingatkan untuk
menjaga persatuan di Maluku," kata Tanalepy lagi.
Puncak perayaan Hari Pattimura dilaksanakan di Lapangan Merdeka,
di depan patung Pattimura, Selasa (15/5) pukul 05.00 WIT. Pada pagi
yang masih gelap itu ribuan warga Maluku mengikuti upacara.
Mereka berkumpul untuk mengenang sang pahlawan yang dengan gagah
berani melawan penjajah Belanda, membebaskan masyarakat Maluku dari
teror penjajah. Dalam konteks itu, kali ini semangat pembebasan
tersebut ditumbuhkan untuk merekatkan masyarakat Maluku dalam meredam
teror-teror yang ingin mengganggu ketenangan hidup masyarakat.
Semangat merevitalisasi Maluku ini diangkat menjadi tema Hari
Pattimura. Semangat perjuangan Pattimura merupakan sumber inspirasi
dan revitalisasi pembangunan Maluku. Harapan ini digulirkan untuk
mengembalikan Ambon dan Maluku yang damai dan nyaman.
Cita-cita itu menunjukkan perkembangan yang membanggakan karena
setiap warga masyarakat dapat dikatakan sudah bisa mengendalikan
emosi dan berpikir lebih jernih. Provokasi yang dilakukan secara
berurutan dan sistematis tidak menggoyang ketahanan masyarakat.
Pengalaman pahit selama kerusuhan tidak ingin diulang lagi.
Masyarakat Maluku bergerak maju menuju hidup yang lebih cerah, saling
menghormati, dan menjunjung persaudaraan.
Semangat persatuan yang telah dirintis Kapitan Pattimura sejak
190 tahun lalu itulah intisari perayaan Hari Pattimura.
Namun, ritual adat itu hendaknya bukan sekadar ritual kosong.
Obor Pattimura ada baiknya dimaknai sebagai membaranya semangat
persaudaraan.
Orang Maluku selalu bilang "katong semua basudara".
Kata-kata bijak ini tentunya patut diimplementasikan dengan cara
selalu berperilaku baik kepada sesama. Bahu-membahu antarsaudara
untuk membawa Maluku sebagai mutiara dari timur.

Perlawanan Rakyat Saparua Tahun 1817 Kapitan Pattimura Maluku - Perjuangan Sebelum Kemerdekaan

Daftar Nama Pahlawan :

- Thomas Matulesi
- Kapiten Patimura
- Kapitan Paulus Tiahahu
- Kristina Martha Tiahahu

Penduduk Ambon-Lease memiliki unsur kehidupan yang dibawa dan dipadukan dengan budaya yang telah ada oleh VOC yaitu sistem perkebunan cengkeh, sistem pemerintahan desa dan sistem pendidikan desa. Sistem pemerintahan terjadi karena timbulnya daerah pemukiman baru.

Sistem perkebunan cengkeh mengharuskan menjual cengkeh rakyat ke VOC dengan harga yang ditetapkan sepihak. Hak pengolahan tanah dibagi menjadi tanah pekebunan cengkeh dan tanah pusaka warisan keluarga untuk ditanami bahan pangan untuk keluarga yang menggarapnya.

Ketiga jenis sistem tersebut menyebabkan keresahan masyarakat Maluku karena :
1. Banyak terjadi korupsi.
2. Adanya kewajiban membuat ikan asin dan garam untuk kapal perang belanda.
3. Pemuda negeri banyak yang dipaksa menjadi serdadu di Jawa.
4. Diberlakukan sirkulasi uang kertas di Ambon yang didapat dari hasil penjualan cengkeh namun untuk membeli barang di toko pemerintah harus memakai uang logam.
5. Hukuman denda dibayar dari hasil penjualan cengkeh serta ditambah biaya untuk kepentingan residen.
6. Penyerahan wajib leverantie bahan bangunan.
7. Adanya pelayaran hongi yang menebar penderitaan.

Tanggal 14 mei 1817 rakyat maluku bersumpah untuk melawan pemerintah dimulai dengan menyerang dan membongkar perahu milik belanda orombaai pos yang hendak membawa kayu bahan bangunan. Kemudian merebut benteng Duurstede oleh pasukan yang dipimpin Kapiten Pattimura dan Thomas Matulesi. Pattimura kemudian menyerang pasukan yang dipimpin beetjes untuk merebut benteng Zeelandia, namun sebelum menyerang zeelandia, Residen Uitenbroek di Haruku melkukan hal berikut :
1. Memberi hadiah kepada Kepala Desa.
2. Membentuk komisi pendakatan Kepala-Kepala Desa di Haruku.
3. Mendatangkan pasukan bala bantuan Inggris dengan Kapal Zwaluw.

Karena adanya bantuan Inggris, Kapten Pattimura terdesak masuk hutan dan benteng-bentengnya direbut kembali pemerintah.

Rakyat nusa laut menyerah tanggal 10 November 1817 setelah pimpinannya Kapiten Paulus Tiahahu serta putrinya Kristina Martha Tiahahu. Tanggal 12 November 1817 Kapitan Pattimura ditangkap dan bersama tiga penglimanya dijatuhi hukuman mati di Niuew Victoria di Ambon.

-----

Tambahan :
A. Arti definisi / pengertian Pelayaran Hongi
Pelayaran hongi adalah pelayaran yang diadakan oleh VOC tiap setahun sekali dengan kora-kora untuk patroli ke pulau manipa, seram dan buru untuk mengawasi daerah dilarang menghasilkan cengkeh yang menyebabkan banyak pedayung lokal yang mati kelaparan dan dibunuh VOC.

Meluruskan Sejarah Pattimura

Tokoh Muslim ini sebenarnya bernama Ahmad Lussy, tetapi dia lebih dikenal
dengan Thomas Mattulessy yang identik Kristen.
Inilah Salah satu contoh deislamisasi dan penghianatan kaum minor atas sejarah pejuang Muslim di Maluku dan/atau Indonesia umumnya.Inilah Salah satu contoh deislamisasi dan penghianatan kaum minor atas
dengan Thomas Mattulessy yang identik Kristen.
Tokoh Muslim ini sebenarnya bernama Ahmad Lussy, tetapi dia lebih dikenal

Nunu oli
Nunu seli
Nunu karipatu
Patue karinunu

(Saya katakan kepada kamu sekalian (bahwa) saya adalah beringin besar dan
setiap beringin besar akan tumbang tapi beringin lain akan menggantinya
(demikian pula) saya katakan kepada kamu sekalian (bahwa) saya adalah batu
besar dan setiap batu besar akan terguling tapi batu lain akan
menggantinya).

Ucapan-ucapan puitis yang penuh tamsil itu diucapkan oleh Kapitan Ahmad
Lussy atau dikenal dengan sebutan Pattimura, pahlawan dari Maluku. Saat itu,
16 Desember 1817, tali hukuman gantung telah terlilit di lehernya. Dari
ucapan-ucapannya, tampak bahwa Ahmad Lussy seorang patriot yang berjiwa
besar. Dia tidak takut ancaman maut. Wataknya teguh, memiliki kepribadian
dan harga diri di hadapan musuh. Ahmad Lussy juga tampak optimis.

Namun keberanian dan patriotisme Pattimura itu terdistorsi oleh penulisan
sejarah versi pemerintah. M Sapija, sejarawan yang pertama kali menulis buku
tentang Pattimura, mengartikan ucapan di ujung maut itu dengan
“Pattimura-Pattimura tua boleh dihancurkan, tetapi kelak Pattimura-Pattimura
muda akan bangkit”. Namun menurut M Nour Tawainella, juga seorang sejarawan,
penafsiran Sapija itu tidak pas karena warna tata bahasa Indonesianya
terlalu modern dan berbeda dengan konteks budaya zaman itu.

Di bagian lain, Sapija menafsirkan, “Selamat tinggal saudara-saudara”, atau
“Selamat tinggal tuang-tuang”. Inipun disanggah Tawainella. Sebab, ucapan
seperti itu bukanlah tipikal Pattimura yang patriotik dan optimis.

Puncak kontroversi tentang siapa Pattimura adalah penyebutan Ahmad Lussy
dengan nama Thomas Mattulessy, dari nama seorang Muslim menjadi seorang
Kristen. Hebatnya, masyarakat lebih percaya kepada predikat Kristen itu,
karena Maluku sering diidentikkan dengan Kristen.

Muslim Taat
Ahmad Lussy atau dalam bahasa Maluku disebut Mat Lussy, lahir di Hualoy,
Seram Selatan (bukan Saparua seperti yang dikenal dalam sejarah versi
pemerintah). Ia bangsawan dari kerajaan Islam Sahulau, yang saat itu
diperintah Sultan Abdurrahman. Raja ini dikenal pula dengan sebutan Sultan
Kasimillah (Kazim Allah/Asisten Allah). Dalam bahasa Maluku disebut
Kasimiliali.

Menurut sejarawan Ahmad Mansyur Suryanegara, Pattimura adalah seorang Muslim
yang taat. Selain keturunan bangsawan, ia juga seorang ulama. Data sejarah
menyebutkan bahwa pada masa itu semua pemimpin perang di kawasan Maluku
adalah bangsawan atau ulama, atau keduanya.

Bandingkan dengan buku biografi Pattimura versi pemerintah yang pertama kali
terbit. M Sapija menulis, “Bahwa pahlawan Pattimura tergolong turunan
bangsawan dan berasal dari Nusa Ina (Seram). Ayah beliau yang bernama Antoni
Mattulessy adalah anak dari Kasimiliali Pattimura Mattulessy. Yang terakhir
ini adalah putra raja Sahulau. Sahulau bukan nama orang tetapi nama sebuah
negeri yang terletak dalam sebuah teluk di Seram Selatan”.

Ada kejanggalan dalam keterangan di atas. Sapija tidak menyebut Sahulau itu
adalah kesultanan. Kemudian ada penipuan dengan menambahkan marga Pattimura
Mattulessy. Padahal di negeri Sahulau tidak ada marga Pattimura atau
Mattulessy. Di sana hanya ada marga Kasimiliali yang leluhur mereka adalah
Sultan Abdurrahman.

Jadi asal nama Pattimura dalam buku sejarah nasional adalah karangan dari
Sapija. Sedangkan Mattulessy bukanlah marga melainkan nama, yaitu Ahmad
Lussy. Dan Thomas Mattulessy sebenarnya tidak pernah ada di dalam sejarah
perjuangan rakyat Maluku.

Berbeda dengan Sapija, Mansyur Suryanegara berpendapat bahwa Pattimura itu
marga yang masih ada sampai sekarang. Dan semua orang yang bermarga
Pattimura sekarang ini beragama Islam. Orang-orang tersebut mengaku ikut
agama nenek moyang mereka yaitu Pattimura.

Masih menurut Mansyur, mayoritas kerajaan-kerajaan di Maluku adalah kerajaan
Islam. Di antaranya adalah kerajaan Ambon, Herat, dan Jailolo. Begitu
banyaknya kerajaan sehingga orang Arab menyebut kawasan ini dengan Jaziratul
Muluk (Negeri Raja-raja). Sebutan ini kelak dikenal dengan Maluku.

Mansyur pun tidak sependapat dengan Maluku dan Ambon yang sampai kini
diidentikkan dengan Kristen. Penulis buku Menemukan Sejarah (yang menjadi
best seller) ini mengatakan, “Kalau dibilang Ambon itu lebih banyak Kristen,
lihat saja dari udara (dari pesawat), banyak masjid atau banyak gereja.
Kenyataannya, lebih banyak menara masjid daripada gereja.”

Sejarah tentang Pattimura yang ditulis M Sapija, dari sudut pandang
antropologi juga kurang meyakinkan. Misalnya dalam melukiskan proses terjadi
atau timbulnya seorang kapitan. Menurut Sapija, gelar kapitan adalah
pemberian Belanda. Padahal tidak.

Leluhur bangsa ini, dari sudut sejarah dan antropologi, adalah homo
religiosa (makhluk agamis). Keyakinan mereka terhadap sesuatu kekuatan di
luar jangkauan akal pikiran mereka, menimbulkan tafsiran yang sulit dicerna
rasio modern. Oleh sebab itu, tingkah laku sosialnya dikendalikan
kekuatan-kekuatan alam yang mereka takuti.

Jiwa mereka bersatu dengan kekuatan-kekuatan alam, kesaktian-kesaktian
khusus yang dimiliki seseorang. Kesaktian itu kemudian diterima sebagai
sesuatu peristiwa yang mulia dan suci. Bila ia melekat pada seseorang, maka
orang itu adalah lambang dari kekuatan mereka. Dia adalah pemimpin yang
dianggap memiliki kharisma. Sifat-sifat itu melekat dan berproses
turun-temurun. Walaupun kemudian mereka sudah memeluk agama, namun secara
genealogis/silsilah/keturunan adalah turunan pemimpin atau kapitan. Dari
sinilah sebenarnya sebutan “kapitan” yang melekat pada diri Pattimura itu
bermula.

Perjuangan Kapitan Ahmad Lussy
Perlawanan rakyat Maluku terhadap pemerintahan kolonial Hindia Belanda
disebabkan beberapa hal. Pertama, adanya kekhawatiran dan kecemasan rakyat
akan timbulnya kembali kekejaman pemerintah seperti yang pernah dilakukan
pada masa pemerintahan VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie). Kedua,
Belanda menjalankan praktik-praktik lama yang dijalankan VOC, yaitu monopoli
perdagangan dan pelayaran Hongi. Pelayaran Hongi adalah polisi laut yang
membabat pertanian hasil bumi yang tidak mau menjual kepada Belanda. Ketiga,
rakyat dibebani berbagai kewajiban berat, seperti kewajiban kerja,
penyerahan ikan asin, dendeng, dan kopi.

Akibat penderitaan itu maka rakyat Maluku bangkit mengangkat senjata. Pada
tahun 1817, perlawanan itu dikomandani oleh Kapitan Ahmad Lussy. Rakyat
berhasil merebut Benteng Duurstede di Saparua. Bahkan residennya yang
bernama Van den Bergh terbunuh. Perlawanan meluas ke Ambon, Seram, dan
tempat-tempat lainnya.

Perlawanan rakyat di bawah komando Kapitan Ahmad Lussy itu terekam dalam
tradisi lisan Maluku yang dikenal dengan petatah-petitih. Tradisi lisan ini
justru lebih bisa dipertanggung jawabkan daripada data tertulis dari Belanda
yang cenderung menyudutkan pahlawan Indonesia. Di antara petatah-petitih itu
adalah sebagai berikut:

Yami Patasiwa
Yami Patalima
Yami Yama’a Kapitan Mat Lussy
Matulu lalau hato Sapambuine
Ma Parang kua Kompania
Yami yama’a Kapitan Mat Lussy
Isa Nusa messe
Hario,
Hario,
Manu rusi’a yare uleu uleu `o
Manu yasamma yare uleu-uleu `o
Talano utala yare uleu-uleu `o
Melano lette tuttua murine
Yami malawan sua mena miyo
Yami malawan sua muri neyo
(Kami Patasiwa
Kami Patalima
Kami semua dipimpin Kapitan Ahmad Lussy
Semua turun ke kota Saparua
Berperang dengan Kompeni Belanda
Kami semua dipimpin Kapitan Ahmad Lussy
Menjaga dan mempertahankan
Semua pulau-pulau ini
Tapi pemimpin sudah dibawa ditangkap
Mari pulang semua
Ke kampung halaman masing-masing
Burung-burung garuda (laskar-laskar Hualoy)
Sudah pulang-sudah pulang
Burung-burung talang (laskar-laskar sekutu pulau-pulau)
Sudah pulang-sudah pulang
Ke kampung halaman mereka
Di balik Nunusaku
Kami sudah perang dengan Belanda
Mengepung mereka dari depan
Mengepung mereka dari belakang
Kami sudah perang dengan Belanda
Memukul mereka dari depan
Memukul mereka dari belakang)

Berulangkali Belanda mengerahkan pasukan untuk menumpas perlawanan rakyat
Maluku, tetapi berulangkali pula Belanda mendapat pukulan berat. Karena itu
Belanda meminta bantuan dari pasukan yang ada di Jakarta. Keadaan jadi
berbalik, Belanda semakin kuat dan perlawanan rakyat Maluku terdesak.
Akhirnya Ahmad Lussy dan kawan-kawan tertangkap Belanda. Pada tanggal 16
Desember 1817 Ahmad Lussy beserta kawan-kawannya menjalani hukuman mati di
tiang gantungan.

Nama Pattimura sampai saat ini tetap harum. Namun nama Thomas Mattulessy
lebih dikenal daripada Ahmad Lussy atau Mat Lussy. Menurut Mansyur
Suryanegara, memang ada upaya-upaya deislamisasi dalam penulisan sejarah.
Ini mirip dengan apa yang terjadi terhadap Wong Fei Hung di Cina. Pemerintah
nasionalis-komunis Cina berusaha menutupi keislaman Wong Fei Hung, seorang
Muslim yang penuh izzah (harga diri) sehingga tidak menerima hinaan dari
orang Barat. Dalam film Once Upon A Time in China, tokoh kharismatik ini
diperankan aktor ternama Jet Li.

Dalam sejarah Indonesia, Sisingamangaraja yang orang Batak, sebenarnya juga
seorang Muslim karena selalu mengibarkan bendera merah putih. Begitu pula
Pattimura.
Ada apa dengan bendera merah putih? Mansyur merujuk pada hadits Imam Muslim
dalam Kitab Al-Fitan Jilid X, halaman 340 dari Hamisy Qastalani. Di situ
tertulis, Imam Muslim berkata: Zuhair bin Harb bercerita kepadaku, demikian
juga Ishaq bin Ibrahim, Muhammad bin Mutsanna dan Ibnu Basyyar. Ishaq
bercerita kepada kami. Orang-orang lain berkata: Mu’adz bin Hisyam bercerita
kepada kami, ayah saya bercerita kepadaku, dari Qatadah dari Abu Qalabah,
dari Abu Asma’ Ar-Rahabiy, dari Tsauban, Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya
Allah memperlihatkan kepadaku bumi, timur dan baratnya. Dan Allah
melimpahkan dua perbendaharaan kepadaku, yaitu merah dan putih”.
Demikianlah pelurusan sejarah Pattimura yang sebenarnya bernama Kapitan
Ahmad Lussy atau Mat Lussy. Wallahu A’lam Bish Shawab.* (dari berbagai
sumber)